Photobucket

Thursday, August 5, 2010

About


 Dasar Pemikiran
Banyak orang menyebut abad ke 21 sebagai abad canggih dalam sains dan teknologi, namun juga sebagai abad kebangkitan spiritualitas manusia, sebagai akibat dan ekses keterbatasan sains dan rasionalitas mereka dalam menjawab problematika kehidupan secara utuh. Hal ini sejalan dengan jargon yang telah dimunculkaan John Naisbitt dan Patricia Aburdence pada tahun 2000 sebagai “Megatrend Zaman Baru”; Spiritualitas agama yes! Formalitas beragama, No! Realitas ini semakin meyakinkan, bahwa trend tersebut memang cukup faktual. Sufisme sebagai sebuah gerakan keberagamaan dalam Islam, telah terbukti secara historis mengembalikan esensi cara beragama kaum muslimin dalam bentuknya yang utuh, yakni mempadukan antara dimensi eksoterik (syari’at) dan esoteric (hakikat).
            Kecenderungan untuk kembali menyajikan dimensi keagamaan yang halus dan esoteris yang ada dalam sufisme, sebenarnya berangkat dari keinginan untuk memenuhi pencerahan masa depan umat Islam. Ketika semua alasan dan praktek-praktek keagamaan formal yang mereka kembangkan terlalu kaku dan keras, seperti halnya cara-cara penerapan konsep “jihad” bagi sebagian kelompok.Maka akibat pola penerapan yurisprudensi formalistik yang kosong termasuk pengamalan agama yang hanya berorientasi pada hal teknis, malah semakin memimpin rasa keterasingan mereka dalam menjauhi dimensi kemanusiaan bagi sesama manusia. Kekosongan diri, deviasi mental sosiologis akibat pendewaan “kebenaran din” sebagaimana dipraktekkan oleh wajah-wajah teroris yang mengatasnamakan “Islam”, bukannya menumbuhkan kedamaian di muka bumi malah lebih menonjolkan aspek-aspek relasi kehidupan yang lebih keras dan penuh ketegangan.
            Pada sisi yang lain, krisis ekologi akibat rakusnya penerapan teknologi yang hedonistik dan materialistik juga semakin memperparah keadaan alam semesta mi sebagai tempat bersemayamnya semua makhluk hidup flora-fauna, baik biota laut maupun darat. Termasuk munculnya masalah kemanusiaan lainnya yang lebih akut dan kompleks akibat jauhnya agama dalam kehidupan sosial, hampir bisa disaksikan setiap detik dalam ruang hampa di kota-kota besar yang direkam setiap media massa dengan nuansa yang mencemaskan. Sebuah dunia manusia yang seolah muram dan telah kehilangan sifat transendentalnya.
            Jadi, bagaimana upaya untuk menemukan kembali aspek spiritualas manusia sebagai pengawal peradaban dunia (khalifah flu ardh), nampaknya perlu segera diwujudkan kembali secara komprehensif.Ternyata tradisi sufisme secara histonis telah terbukti bisa menyanggupi untuk mengembalikan jiwa manusia ke arah titik temu antara iman, Islam dan Ihsan dalam menempuh titik kordinat dasarnya, yakni Tuhan.Jiwa manusia yang cenderung bersifat labil, goyang, geram nampknya segera memerlukan “chatting” dengan habitat primordialnya.Peradaban Islam yang bisa merangkul harmoni universal, guna mencapai pleno manusia dalam tradjsi yang prinsip-prinsip dan kebijaksanaannya di dasarkan pada nilai-nilai abadi, yang berasal dan “nur ilahi”.Prosesnya perlu segera ditandai dengan manifestasi ilahiyah
dalam penyerapan dan penyiaran terhadap prinsip-prinsip penyatupaduan Iman, Islam dan Ihsan
dalam ruang dan waktu yang berbeda serta kondisi yang berbeda-beda pada masing-masing wilayah dunia Islam.
Tradisi sufisme bukanlah sebagai sebuah kumpulan mitologi kuno, tetapi apa kata F. Schuon ia adalah ilmu yang benar-benar nyata. Sebuah “scientia acra” yang berakar pada kenyataan realitas yang tidak terpisahkan antara Tuhan dan Manusia.Untuk itu, perlu diungkapkan dengan cepat, eksodus pulang balik spiritual manusia ini tidak hanya ditandai dengan demam tasawuf saja, tetapi benar-benar berangkat dari jiwa dan juga tidak hanya untuk pindah dari satu kutub ektrem ke kutub ekstrem berikutnya. Kebangkitan Sufisme harus segera diawali dengan kebangkitan kembali minat terhadap keberadaan ilmu-ilmu Islam secara utuh.

TEMA PAMERAN
SURYALAYA MACA, NGACA, DAN NGARASA UNTUKMEMBANGUN PERADABAN DUNIA DI ABAD KE-21

TUJUAN
  1. Menjadikan Pondok Pesantren Suryalaya sebagai barometer perbukuan khususnya dalam dunia wacana sufistik yang praktis. Juga diharapkan mampu menularkan virus budaya baca bagi jemaah TQN khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya.
  2. Menjadi sarana untuk mendekatkan buku pada masyarakat pembacanya, sehingga buku menjadi akrab dengan berbagai kalangan masyarakat.
  3. Sebagai sarana untuk menyebarkan “virus” gemar membaca dan menulis di berbagai kalangan.
  4. Sebagai ajang untuk menampilkan beraneka ragam produk yang berkaitan dengan perbukuan, sarana pendidikan, dan lembaga-lembaga yang concern terhadap upaya pencerdasan dan kemajuan bangsa.
  5. Wadah komunikasi interaktif antara penikmat buku (konsumen) dengan penggiat perbukuan (pengarang, toko buku, distributor buku, dan penerbit).

0 comments:

Post a Comment

 
Copyright © ds Powered by Blogger. A-R Mag Blogger Template By Ahmad Rifai | 5-Shops